Warning:
Kalau sedang ikut program IVF, sedang menunggu jadwal ET atau FET, dan/atau bukan tipe berhati baja menerima kabar buruk, sebaiknya skip tulisan ini.
Beberapa hari sebelum embryo transfer dilakukan, saya bertemu dokter kembali untuk pemeriksaan. It was a wonderful day. Dokter Devindran sepertinya sedang in a really good mood karena sepanjang pemeriksaan banyak tertawa. Dia menanyakan pendapat saya tentang dr. Voon (saat saya sedang menstruasi beliau sedang cuti jadi digantikan oleh dr. Voon yang adalah isterinya sendiri). Dia cerita kalau dr. Voon sering mengaku sebagai his girlfriend instead of his wife, LOLs. Actually, I had really a good time with dr. Voon, my first female Obgyn. She was really nice and gentle.
Saya akan menjalani proses embryo transfer sendirian karena suami sedang ada pekerjaan di kantor yang tidak bisa ditinggalkan. Adik saya yang di Bandung masih belum mendapat jadwal antrian passport padahal sudah dari beberapa bulan lalu dia coba daftar (blame it to current online registration system!), dan adik ipar saya juga sudah menghabiskan cukup banyak cuti di awal bulan ini saat kami menemani mama mertua operasi di Penang juga. Entah kenapa, insting saya merasa saya lebih nyaman untuk melalui ini sendiri. I need to cherish every minute of the process alone *my introvert side spoke*
I wore my comfy new bought dark blue dress and strolled excitedly (and nervously) from new building to the clinic. Then, I met Ms. Lim,
‘Embryo-nya tidak bertahan setelah di thawing’
Itu adalah kabar yang saya terima di jam 10 pagi. Saya mencoba tersenyum ke Ms. Lim yang berusaha menyemangati saya. Dua embryo berikutnya (our last embryo) sedang dicairkan dan hasilnya baru akan dikabari di jam 2 siang.
Saya menahan untuk tidak langsung menginformasikannya ke suami, keluarga dan teman di Jakarta karena saya tidak siap dengan segala bentuk emotional responses apapun saat itu. Saya bimbang antara pilihan balik ke hotel atau duduk menenangkan diri di antara pasien lainnya di ruang tunggu. I chose the later option.
Kebetulan, ada Fitri (room-mate saya di apartemen sebelumnya) yang sedang menunggu hasil OPU sebelum kembali ke Jakarta sorenya. Lucunya, kami menjalani OPU di hari yang sama di bulan Maret lalu, tetapi suami saya yang ngobrol dengan suami Fitri di ruang tunggu operasi. Selain itu, juga ada teman baru yang kebetulan namanya Fitri juga. Jadi kami ngobrol bertiga. Setelah berpisah, saya bertemu dengan cici Francy (isteri Edward Suhadi) juga, jadilah ngobrol dan berbagi pengalaman. Terakhir, saya bertemu Anggi, room-mate saya waktu di ruang rawat inap setelah operasi beberapa bulan lalu. Unfortunately, satu pun saya tidak ingat untuk ngajak foto bareng *teteup ya*
Sejujurnya, walaupun saya ngobrol sana-sini seperti biasa, tetapi di dalam hati seperti ada bolongan yang rasanya ngilu sekali. Embryologist pernah menginformasikan kalau ada kemungkinan embryo yang di-thawing turun atau naik grade, tetapi seingat saya tidak dengan kemungkinan embryo-nya tidak bertahan. I guess I was too shock about the news and too numb to cry. Saya pasrah dan merelakan kesempatan pertama kami hilang dan berharap yang terbaik untuk dua embryo berikutnya. I just need to wait couple hours more that felt so long…
Saya masuk ke ruangan klinik untuk dokter melakukan pemeriksaan terakhir saat jam menunjukkan hampir pukul 2 siang. Situasinya, dokter Devindran tidak banyak berbicara, sementara saya duduk dengan cemas menunggu karena embryologist belum memberi kabar juga. Ms. Lim mondar-mandir di belakang saya sambil menelepon, she spoke in Chinese, intentionally I guessed. Saat dia pindah ke sebelah dokter Devindran dan tersenyum barulah saya bisa bernafas lega. Embryo-nya bertahan. That’s the only news I need to hear.
Akhirnya, kami sampai juga di tahap embryo transfer. Prosesnya sendiri cuma sekitar 15 menit (kebetulan ada jam di ruang operasi jadi saya sempat mengecek waktunya), proses menuju tahap ini aja yang lamanya lumayan ya. Saat prosesnya selesai, Ms. Elaine yang menjemput saya kembali ke klinik untuk diberikan suntikan pregnyl di lengan. Ruangan klinik sudah sepi, tetapi saya masih bertemu Anggi dan suaminya.
Yang lucu adalah saat saya menjelaskan ke Ms. Elaine kalau saya akan jalan kaki pulang ke hotel (letaknya persis di seberang gedung baru rumah sakit, memang jalannya cukup jauh dari gedung lama tetapi kalau pelan-pelan harusnya tidak apa-apa), dia insisted untuk saya naik taksi saja. Sampai akhirnya, Ms. Lim yang mendengar pembicaraan kami menawarkan untuk mengantar saya pulang, sekalian dia juga sudah selesai jam kerjanya. See! I once told dr. Voon that these nurses are really like a true sisters for me. I truly mean it.
Back to hotel, safe and sound, and so tired. So, here we’re now on our r(n)esting days! Be good and grow healthily there, our twinny embryos!